‘Mati satu tumbuh seribu’. Mungkin pepatah ini sangat cocok untuk menggambarkan korupsi yang terus meningkat tajam. Memang harus kita akui bahwa kejahatan korupsi di negeri yang mayoritas muslim ini semakin membudaya dan merambah di setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Fakta ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah pejabat yang tersangkut kasus korupsi, baik pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 176 pejabat daerah terjerat kasus korupsi sepanjang periode 2004-2022. Rinciannya, terdapat 22 gubernur dan 154 walikota/bupati dan wakil yang juga berurusan dengan KPK. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebanyak 310 wakil rakyat juga terjerat korupsi pada periode yang sama (Katadata.co.id, 19/9/2022).
Semakin masifnya korupsi yang dilakukan para pejabat menjadikan indeks korupsi Indonesia stagnan, bahkan turun. Menurut laporan Transparency International (TI) menunjukkan, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 poin pada 2023. Angka tersebut stagnan dari perolehan 2022, tetapi peringkatnya justru turun. Indonesia sempat duduk di peringkat 110 pada 2022, turun ke posisi 115 pada 2023. Posisi itu sejajar dengan Ekuador, Malawi, Filipina, Sri Lanka, dan Turki.
Momentum Ramadan
Di tengah meningkatnya kasus korupsi, saya kira bulan suci Ramadan dapat dijadikan sebagai momentum untuk membangun akhlak mulia. Berbagai perilaku tak terpuji termasuk kejahatan korupsi diberhentikan sejenak dengan melaksanakan ibadah puasa. Hal ini menandakan bahwa puasa bukan hanya memerintahkan kita untuk menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan diri untuk tidak korupsi.
Puasa merupakan media bagi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Lewat ibadah puasa ini, kita dididik untuk terus menjadi insan yang jujur dengan menyadari setiap tindakan kita selalu dipantau oleh Allah Swt. Kalau ini bisa dihayati dengan sunguh-sungguh, maka bisa menjadi pengingat bagi para pejabat saat akan melakukan korupsi.
Karena itu, sudah sepantasnya puasa Ramadan dijadikan sebagai sarana pendidikan karakter sehingga kita terbiasa berbuat jujur. Kejujuran di negeri ini memang menjadi hal yang langka. Bahkan, tidak sedikit orang-orang yang menyuarakan kejujuran justru disingkirkan.
Ramadhan dalam dimensi kehidupan sejatinya tak hanya mampu membangun pribadi yang bertakwa sebagai manifestasi sikap seorang hamba kepada Tuhan, tetapi juga mampu menumbuhkembangkan kepekaan sosial terhadap sesama sekaligus menahan diri dari serakah terhadap harta (korupsi).
Untuk mencapai itu semua, dibutuhkan pelaksanaan dan pemahaman ibadah puasa secara sungguh-sungguh. Jangan sampai ibadah puasa hanya diartikan sekadar menahan diri dari makan dan minum. Lebih dari itu, ibadah puasa harus mampu menahan diri untuk tidak berbuat korupsi dan berbagai perilaku jahat lainnya.
Akhirnya, semoga pelaksanaan ibadah puasa tahun 2024 ini dapat membawa kita sebagai lulusan terbaik dari madrasah Ramadan sehingga kita benar-benar menjadi insan yang bertakwa dan takut melakukan korupsi.